De jure, kita sudah merdeka. De facto, kita hampir tak punya apa-apa lagi.
Apalagi yang bisa menyelamatkan negeri ini?
"Yang lain napa, masa balap karung lagi, balap karung lagi. Bete deh..." gerutu Geas pekan lalu, saat rapat panitia peringatan HUT RI ke-63 di TPA Al Azmy Desa Rawakalong, Gunung Sindur, Bogor.
Kini peringatan 17 Agustus semakin tidak meriah dibandingkan selebrasi kemerdekaan 20 atau 30 tahun silam. Bahkan kian hampa, tanpa makna. Memang, batang pinang masih ditegakkan, kerupuk dan jeruk masih digantung, kompetisi bola masih menggelinding. Tapi, what next?
Indonesia, kini hampir genap 63 tahun. Usia yang patut disyukuri, karena telah mencapai rata-rata harapan hidup orang Indonesia. Lebih bersyukur lagi, usia 63 tahun ini berada di kisaran umur Nabi Muhammad SAW yang sekitar 62 tahun. Kalaupun ajal kaum tiba pada 17 Agustus, setidaknya Indonesia sudah seumuran Rasulullah. Bukankah setiap kaum juga punya umur sebagai-mana tiap pribadi yang bernyawa.
Masalahnya, apakah the end of Indonesia khusnul khatimah sebagaimana kematian Nabi, atau malah sebaliknya?
Pertanyaan itu terjawab oleh fenomena balap karung. Bukan tanpa arti bila permainan ini selalu saja dilombakan tiap 17 Agustusan. Ia sesungguhnya mencerminkan jiwa bangsa.
Balap karung persis menunjukkan perjalanan bangsa Indonesia yang selalu saja kesrimpung. Maklum, nafsu untuk berlari besar, tapi tenaga mampat karena kedua kaki terbelenggu (ujung karung). Ironisnya, (karung) belenggu itu kita pegangi sendiri kencang-kencang dengan kedua belah tangan.
Kita teriak-teriak "bangkit Indonesia, bangkit Indonesia!" Kita gembar-gembor "merdeka-merdeka!" Tapi di saat yang sama, kita menghamba pada manca-negara.
Amien Rais benar, ketika menyerukan keterpurukan dan keterjajahan Indonesia hingga detik ini. Lewat bukunya Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia, ia secara gamblang menggambarkan kekayaan alam Indonesia yang mayoritas sudah dikuasai asing.
Pengurasan dimulai dengan intervensi terhadap produk hukum RI yang mengizinkan asing menguasai aset nasional nyaris tanpa batas. Simak, misalnya, pernyataan USAID (United States Agency for International Development) : "USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform." Khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, "The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000."
(http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-009.html)
Mengenai kenaikan harga BBM, USAID menyebut keterlibatan Bank Dunia sebagai berikut: "Complementing USAID efforts, the World Bank has con-ducted comprehensive studies of the oil and gas sector, pricing policy, and pro-vided assistance to the State electric company on financial and corporate restructuring."
Yang fasih Bahasa Inggris, akan paham betapa telah sangat dalam dan jauhnya pihak asing, khususnya Amerika, terlibat dalam penyusunan kebijakan industri migas di Indonesia.
Hal itu dipertegas dengan laporan berjudul "Kajian Dampak Ekonomi Kenaikan Harga BBM", yang diterbitkan Pusat Studi Energi, Departemen ESDM pada Desember 2001. Kajian ini ternyata dibiayai AUSAID (Australia Agency for International Development) , melalui International Trade Strategies (ITS) Pte. Ltd., Australia. Tentu saja, di sini berlaku hukum: There's no such
free lunch.
Kajian tersebut memuat skenario meliberalisasi harga BBM. Skenario pertama, semua harga BBM dilepaskan ke pasar pada 2004. Skenario kedua, harga diesel dan minyak bakar dilepas ke pasar pada 2004, sedangkan harga minyak tanah dan solar pada 2007. Skenario ketiga, harga diesel dan minyak bakar dilepaskan ke pasar pada 2004, solar pada 2007, dan minyak tanah pada 2010.
Wuih, hina dina nian sebuah bangsa yang telah berumur 63 tahun, namun langkah demi langkah masa depannya digariskan orang lain.
Tapi, that's the fact.
Dan, bahkan tak hanya di sektor migas. RUU Kelistrikan dibuatkan Bank Dunia, sedangkan RUU BUMN dibikinkan Price Waterhouse Coopers. RUU SDA, RUU Maritim, RUU BHP, dan regulasi mengenai hajat hidup rakyat, tak lepas dari intervensi asing.
Intervensi Pendidikan
UGM, UI, ITB, dan IPB, adalah PTN (Perguruan Tinggi Negeri) paling favorit.
Mereka laku, karena itu lantas dijual. Keempatnya, sejak 2000, berubah status-nya menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) berdasarkan PP No.60/1999 dan PP No. 61/1999. Kelak, mereka bakal menjadi perusahaan jasa pendidikan murni dengan payung Badan Hukum Pendidikan (BHP) berdasarkan UU Sisdiknas No 20/2003 pasal 53 ayat 4.
Edward Sallis, dalam bukunya "Total Quality Manajement in Education", membeberkan bagaimana para pengambil kebijakan dan pelaksana pendidikan dipaksa menjalankan sekolah seperti menjalankan manajemen perusahaan
berorientasi bisnis. Di antaranya dengan mengundang kaum kapitalis untuk merasuki kampus. Maka, IPB tak sungkan lagi mengubah sebagian lahannya menjadi pusat perbelanjaan Botani Square.
RUU BHP, rencananya akan disahkan sebagai UU pada 2010. Ini merupakan salah satu indikator proyek Dikti, Higher Education for Competitiveness Project (HECP) yang kemudian menjadi IM-HERE (Indonesia Managing Higher Education For Relevance and Efficiency). Pendanaannya dibiayai utang dari World Bank, dengan Loan Agreement (IBRD) no. 4789-IND dan Develeopment Credit Agreement (IDA) no. 4077-IND schedule 4.
Pada pasal 6 RUU BHP tertulis, lembaga pendidikan asing yang ter-akreditasi atau yang diakui di negaranya, dapat mendirikan BHP baru di Indonesia, dan 'bekerjasama' dengan BHP lokal. Dengan kata lain, PTN Indonesia akan mirip dengan SPBU lokal yang harus berkelahi melawan SPBU asing saat ini. Kalau kalah modal, ya menyerah untuk diakuisisi.
Darwis SN, pemerhati kebijakan pub-lik yang alumnus University of Adelaide Australia, mengungkapkan, draft RUU BHP sebenarnya dirancang sejak pertemuan "World Declaration on Higher Education for the Twenty-First Century: Vision and Action" di Paris tahun 1998 yang disponsori UNESCO. Ia merupakan salah satu konsekuensi dari General Agreement on Trade in Services (GATS) WTO yang meliberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat.
Bersama Amerika dan Inggris, Aus-tralia memang paling getol mendesakkan liberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO. Pasalnya, sejak tahun 1980-an, mereka mendapatkan keuntungan paling besar dari liberalisasi jasa pendidikan (Ender dan Fulton, Eds, 2002). Pada tahun 2000 saja, ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 milyar atau Rp 126 triliun.
Penguasaan BUMN
Dengan UU no 25/2007 tentang Penanaman Modal, pemain asing dan pemain lokal dibiarkan bebas berkom-petisi di Indonesia. Pasal 7 ayat 1 dan 2 malah menghalangi 'nasionalisasi' dengan berbagai aturan yang menyulitkan dan merugikan negara sendiri. Yang terjadi justru internasionalisasi BUMN.
Tahun ini, Komite Privatisasi memu-tuskan untuk memprivatisasi (melego) 34 BUMN dan melanjutkan privatisasi 3 BUMN yang tertunda tahun sebelumnya. Privatisasi melalui IPO di bursa efek dan dengan penjualan strategis (strategic sales) langsung kepada investor yang ditunjuk (Bisnis Indonesia, 5/2/2008).
Inilah privatisasi terbesar sepanjang sejarah Indonesia yang dalam kurun 1991-2001 telah 14 kali melego 12 BUMN. Pada periode 2001-2006, kembali 14 privatisasi menjual 10 BUMN. Sedangkan hanya setahun, pada 2008 ini melego 37 BUMN. Masih pula disertai penjualan seluruh saham 14 BUMN industri, 12 BUMN dijual dengan kepada investor strategis, dan beberapa BUMN lagi dijual kepada asing.
Di antara BUMN yang dilego: PT Asuransi Jasa Indonesia, PT Krakatau Steel, PT Bank Tabungan Negara, PT Semen Baturaja, PT Sucofindo, PT Surveyor Indonesia, dan PT Waskita Kar-ya, Bahtera Adiguna, Barata Indonesia, PT Djakarta Lloyd, PT Sarinah, PT Industri Sandang, PT Sarana Karya, PT Dok Kodja Bahari, PT Dok & Perkapalan Surabaya, PT Industri Kereta Api, PT
Dirgantara Indonesia, PT Kertas Kraft Aceh, PT INTI, Virama Karya, Semen Kupang, Yodya Karya, Kawasan Industri Medan, Kawasan Industri Makasar, Kawasan Industri Wijaya Kusuma, PT SIER, PT Rekayasa Industri, dan Kawasan Berikat Nusantara. Garuda Indonesia, Merpati Nusantara, dan Industri Gelas. (Bisnis Indonesia, 5/2/2008).
Sekretaris Menteri Negara BUMN Muhammad Said Didu mengatakan, sebanyak 85 persen saham BUMN yang sudah melantai di bursa dikuasai oleh asing. Beberapa BUMN besar yang sudah menjadi perusahaan terbuka dan selalu membukukan keuntungan, antara lain PT Telkom Tbk, PT Indosat Tbk, PT Semen Gresik Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Kimia Farma Tbk, PT Adhi Karya Tbk, PT Perusahaan Gas Negara Tbk, PT Bukit Asam Tbk (TEMPO Interaktif, 23 Pebruari 2006).
Penguasaan Perbankan
Di sektor perbankan, dengan pasal 22 ayat 1b UU Perbankan, warga negara dan badan hukum asing bebas untuk bermitra dengan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia mendirikan Bank Umum. Pihak asing pun bisa memiliki hingga 99 persen saham bank di Indonesia.
Saat ini 6 dari 10 perbankan terbesar di Indonesia kepemilikan mayoritasnya dikuasai asing. Menurut data Biro Riset InfoBank, Singapura merupakan yang paling banyak mengoleksi bank swasta Indonesia, yakni Bank Danamon, BII, Bank NISP, dan Bank Buana. Tidak termasuk bank campuran, seperti Development Bank of Singapore (DBS) Indonesia, Overseas Chinese Banking Corporation (OCBC) Indonesia, dan United Overseas Bank (UOB) Indonesia.
Totalnya tujuh bank. Kalau dirunut, kepemilikan Singapura ini perpanjangan tangan dari Temasek Holding.
Temasek Holdings (Pte) Ltd (induk STT dan SingTel) menguasai 51 persen saham PT Bank International Indonesia Tbk melalui konsorsium Sorak Financial Holdings. Temasek berhasil membeli 51 persen saham Bank Danamon melalui konsorsium Asia Financial Holdings. Menyusul kemudian berita yang menye-butkan bahwa 51 persen saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) akan dijual ke Temasek dengan metode penjualan strategis (strategic sale).
Urutan kedua diduduki negeri jiran Malaysia yang memiliki saham di Bank Bumiputera, Bank Niaga, dan Bank Lippo.
Penguasaan Migas
Berdasarkan UU Migas No 22 tahun 2001, pemain asing boleh masuk sebebasnya dari hulu sampai hilir. Saat ini, menurut DR Hendri Saparini, lebih dari 90 persen dari 120 kontrak production sharing kita dikuasai korporasi asing.
Dari sekitar satu juta barrel perhari Pertamina hanya memproduksi sekitar 109 ribu barrel, sedikit di atas Medco 75 ribu barrel. Itu pun, menurut pasal 22 ayat 1 UU Migas, badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25 persen bagiannya dari hasil minyak dan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sebaliknya produksi terbesar adalah Chevron sekitar 450 ribu barrel perhari.
Seperti diungkapkan Abdullah Sodik, Ketua Serikat Pekerja Pertamina, dalam diskusi bertema "BBM Naik, SBY-JK Turun?" di Jakarta, 19 Mei 2008, perusahaan independen lokal seperti milik Keluarga Panigoro, baru menguasai cadangan minyak 12 persen dan gas 5 persen. Sisanya dikuasai 60-an perusahaan asing termasuk The Big Five: ExxonMobil, ShellPenzoil, TotalFinaEIf, BPAmocoArco, dan ChevronTexaco, yang menguasai cadangan minyak 70 persen dan gas 80 persen. Perusahaan asing Major seperti Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex, menguasai cadangan minyak 18 persen dan gas 15 persen.
Berdasar UU Migas yang radikal itu, pada 2004 sebanyak 105 perusahaan swasta mendapat izin untuk merambah sektor hilir migas, termasuk membuka SPBU (Trust, edisi 11/2004). Perusahaan itu antara lain British Petrolium (Amerika-Inggris) , Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika). Mereka mulai beroperasi setelah pemerintah
dua kali menaikkan harga BBM pada 2005.
Intervensi Hankam
Di bidang pertahanan-keamanan , kita diatur asing lewat program-program seperti IMET (dengan Amerika), DCA (Singapura), Densus 88 (AS), NAMRU 2 (AS). Proyek NAMRU 2, disebut Koordinator MER-C Dr Jose Rizal sebagai pangkalan militer AS di jantung Indonesia.
Penguasaan Bisnis
Di laut, Dirjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Made L Nurjana menyayangkan tingginya dominasi asing di sektor budidaya mutiara di Indonesia. Saat ini, investor asing dari Australia dan Jepang masih menguasai sekitar 90 persen budidaya mutiara di Tanah Air. Padahal, pada periode 2000-2004, rata-rata volume ekpor mutiara Indonesia mencapai 21,38 kilogram (kg). Harga rata-ratanya sebesar US$ 2.333,60 per kg atau setara Rp 21.063 per gram (Investor Daily, 11 Juli 2007).
Sampai 20 tahun ke depan pun, sepertinya bisa dipastikan perusahaan pelayaran asing masih tetap menikmati dan menguasai pangsa pasar pelayaran di Indonesia. Dalam cetak biru yang dike-luarkan asosiasi pemilik kapal nasional (INSA) pun disebutkan, sampai tahun 2020 perusahaan pelayaran nasional baru bisa mendapatkan pangsa pasar pelayaran internasional sekitar 30 persen dari 550 juta ton peti kemas yang nilainya 22 milyar dollar AS.
Saat ini, kegiatan ekspor-impor yang dilayani kapal asing sebanyak 96,59 persen, sedangkan angkutan kargo dalam negeri yang dilayani kapal asing sebesar 46,8 persen. Akibatnya, total devisa nasional yang diambil kapal asing mencapai 11 miliar dollar AS atau Rp 99 triliun per tahun (Kompas, 16 April 2005).
Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengatakan dari sekitar 20-an industri petrokimia di Indonesia hanya empat yang dimiliki oleh pengusaha lokal. Dari 20-an perusahaan petrokimia, hanya empat yang dimiliki lokal. Selebihnya Filipina, Taiwan dan Korea," kata Menperin dalam seminar Indonesia Investor Forum 2 di Jakarta (Kapanlagi.com, 31 Mei 2007).
Industri jasa perawatan pesawat di Indonesia hanya mampu menyerap 40 persen permintaan pasar jasa perawatan. Sisanya, 60 persen, diserap perawatan pesawat asing. Padahal, permintaan jasa perawatan pesawat di Indonesia men-capai US$ 800 juta atau sekitar 7,4 triliun setahun (TEMPO Interaktif, 26 Juni 2008).
Seruan Hijrah
Dengan kekayaan alam yang tumpah ruah itu, Indonesia mestinya benar-benar menjadi "surga" di lintas khatulistiwa bagi penduduknya. Indonesia bahkan bisa mengulang sukses Negeri Saba', Bani Umayyah, maupun Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mampu menghapuskan kemiskinan warganya.
"Indonesia tidak akan terpuruk begini, kalau tidak terjadi mismanajemen penge-lolaan kekayaan alam yang luar biasa besar yang kita miliki," kata pakar perminyakan DR Qurtubi dalam sebuah diskusi di televisi.
Karena itu, menurut Amien Rais, hijrah yang paling vital saat ini adalah menghentikan proses "asingisasi" kekayaan Bangsa Indonesia.
“Bagi saya sekarang ini hijrah yang paling penting adalah menghentikan proses asingisasi,“ katanya usai menyampaikan taushiyah pada Peringatan 1 Muharram 1429 H di Lapangan Imam Bonjol, Padang (11/1/2008).
Setelah menyetop asingisasi dan melakukan nasionalisasi, lalu apa?
Menurut M Shiddiq al-Jawi, dosen Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta-SEM Institute Jogjakarta dan Peneliti Shariah Economic and Management Institute (SEM Institute) Jakarta, kemak-muran bangsa Indonesia akan terwujud bila kekuasaan benar-benar ditegakkan untuk kemaslahatan kaum muslimin, termasuk pemberantasan kemiskinan, lewat konsep baitul maal, al-anfaal (harta rampasan perang), jizyah (harta yang dipungut oleh negara dari warga negara non-muslim), milkiyah 'ammah (harta-harta kepemilikan umum), milkiyah daulah (harta kepemilikan negara), 'usyuur (harta yang dipungut oleh negara dari komoditas perniagaan ahludz dzimmah/kafir harbi yang melintasi perbatasan negara), dan lain sebagainya sesuai konsep Islam.
*We Need Revolution*
Taken from email sent by Mr. Najib and also post in here
6 comments:
kayaknya pernah baca deh..
tolong klo copy paste, di sebutkan sumber aslinya.
Khan anda penganut aliran Opensource.
mas alfa, bunda udah cek lewat http://www.copyscape.com, memang ada web yg menampilkan postingan ini. semuanya sebagian besar menulis sumber dari email, ada yg dari website juga. atau mas cek sendiri di copyscape... oke mas...
@Pak Budi dan bunda rie:
Betul bgt, artikel ini adalah copas... saya ambil dari email yg dikirim temen..
Bahkan soal jual-menjual 34 BUMN dibahas di acara today dialoguenya metro tv bbrp hr lalu.
Yang saya harapkan dari teman2 adalah tanggapannya tentang kondisi Indonesia seperti yg disebutkan di artikel tsb.
Soalnya kita yg merasakan akibatnya, secara kita adalah rakyat Indonesia juga. :P
*jalan2 disuruh baca artikel,,, ternyata artikelnya udah pernah di baca...!!!
ada yg baru ngga...???
Kalo menurut saya nih mas...
jika om-om yg maasih jabat di DPR masih suka 'disuapin' kayaknya kebijakannya pasti akan selalu menyusahkan rakyat di kemudian hari..
jadi lebih baik kita ganti dulu semua orang yang ada di DPR dengan yg gak doyan 'disuapin' dan lebih mikirin rakyat, baru kita bisa sedikit bernapas lega atau suruh aja KPK obok2 lebih jauh kedalam gedung DPR.
betul??.. :D
@suwito:
Kalo kamu jeli, kamu bisa menemukannya di bagian bawah artikel tsb. :P
@arthur:
betul banget om...
lebih baik lapor KPK atau jgn pilih wakil yg obral janji di 2009 nanti...
setuju??? :D
Post a Comment