Sunday, September 30, 2007

Teleskop Radar Pemersatu Umat


Peneliti LIPI dan Observatorium Boscha punya cara menyelesaikan perbedaan menentukan awal puasa dan Idul Fitri.

Hampir tiap kali akan memasuki bulan puasa, seperti pekan ini, umat muslim di Indonesia harus menerima kenyataan masih adanya perbedaan dalam penetapan jatuhnya awal Ramadan. Ada kelompok yang berpegang pada perhitungan (hisab) kalender dan yang lain menunggu hingga terbitnya anak bulan (hilal).

Hilal adalah bulan sabit terkecil yang muncul beberapa saat setelah matahari terbenam. Pengertian dan penggunaan hilal untuk menentukan awal Ramadan dan Syawal inilah yang menimbulkan perbedaan.

Nah, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memiliki ide untuk menyelesaikan perselisihan klasik ini. "Caranya adalah menggunakan teleskop radar untuk mendeteksi gambar bulan di posisi hilal," kata peneliti pusat penelitian Kalibrasi, Instrumentasi dan Mentrologi LIPI, Farid Ruskanda.

Selama ini, ada tiga aliran utama yang dianut organisasi-organisasi Islam di Indonesia dalam menentukan hilal. Pertama, dengan Rukyatul hilal bil fi'li, yaitu dengan merukyat (melihat) hilal secara langsung. Bila tertutup awan atau menurut perhitungan (hisab) hilal masih di bawah ufuk, mereka tetap me-rukyat untuk lalu menggenapkan (istikmal) bulan menjadi 30 hari. Hisab hanya digunakan sebagai alat bantu. Nahdhatul Ulama (NU) menganut sistem ini.

Kedua, dengan Imkanur rukyah, yakni menggunakan rukyat dan hisab secara bersama-sama. Hilal, menurut hisab, dianggap terlihat apabila ketika matahari terbenam ketinggian bulan di atas horizon tidak kurang dari 2 derajat, sudut antara bulan dan matahari tidak kurang dari 3 derajat, serta ketika terbenam umur bulan minimal 8 jam selepas ijtimak (konjugasi). Syarat ini harus berlaku untuk mayoritas wilayah Indonesia. Konsep ini dianut oleh Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sedangkan aliran ketiga, Wujudul hilal, yang selama ini menjadi acuan Muhammadiyah. Hisab ala Muhammadiyah ini menetapkan awal bulan baru saat hilal telah terbentuk (setelah ijtimak dan saat itu posisi bulan masih berada di atas ufuk saat matahari terbenam). Aliran ini tidak mempermasalahkan apakah hilal tersebut bisa diamati atau tidak.

"Sering kali Muhammadiyah berbeda dengan organisasi lain karena tidak peduli apakah hilal itu bisa dilihat atau tidak. Walaupun cuma satu derajat tingginya dan baru wilayah Indonesia bagian barat yang mengalami, Muhammadiyah langsung menetapkan puasa atau hari raya," kata Farid.

Menurut Farid, dengan teleskop radar, posisi hilal yang tidak bisa dilihat dengan mata itu bisa ditangkap.

Teorinya begini. Radar memancarkan gelombang radio yang cukup kuat untuk sampai ke bulan yang berjarak sekitar 400 ribu kilometer dari bumi. Gelombang radio yang mengenai bulan itu akan memantul dan diterima oleh stasiun bumi. "Data yang diterima itu lantas diproses dengan sistem image processing," kata Farid.

Setelah diproses dengan pengolahan gambar, image hilal tersebut disiarkan secara nasional lewat stasiun televisi. Dalam gambar di televisi itu, akan menampilkan data ketinggian, posisi elongasi hilal, dan lainnya.

Dengan demikian, masyarakat bisa ikut "merukyat" langsung hilal. "Masyarakat tidak akan ragu-ragu lagi karena sudah menyaksikan langsung di televisi," kata Farid. "Sekaligus ini menjembatani perbedaan utama antara hisab dan rukyat".

Konsep teknologi ini, kata Farid yang profesor riset LIPI, sudah digunakan di luar negeri pada 1959 lewat program Lunar Ranger dengan mengirim satelit tak berawak untuk menabrak bulan dan mengirimkan gambar permukaan bulan lewat gelombang radio.

Saat ini teleskop radio banyak digunakan lembaga astronomi di luar negeri. Bedanya, teleskop ini digunakan untuk menangkap sinyal radiasi gelombang dari obyek-obyek di luar angkasa.

Adapun teleskop radar untuk hilal ini memancarkan gelombang radio sendiri untuk menemukan bulan. Untuk mencapai sudut yang rendah, radar harus ditempatkan di tempat yang tinggi. Sedangkan biaya untuk membangunnya, "Hanya Rp 3-4 miliar," ujar Farid

Dosen Astronomi Institut Teknologi Bandung dan peneliti di Observatorium Boscha, Hakim Malasan, mengakui gagasan tersebut sangat menarik. "Usulan menggunakan radar sebenarnya sudah lama dibahas" katanya. "Tapi banyak yang menolak".

Walaupun sangat dimungkinkan dari sisi teknologi, usulan itu tidak visible dari sisi biaya. Selain itu, perbedaan dengan berlandaskan penafsiran hadis tidak akan selesai diatasi dengan kehadiran teleskop radar. "Apa semua setuju dengan konsep 'merukyat' dengan radar?" katanya.

Tambahan lagi, konsep dengan memberikan justifikasi sistem rukyat yang dilakukan pemerintah kepada publik sudah dilakukan Observatorium Boscha bekerja sama dengan Departemen Komunikasi dan Informasi. "Saat ini merukyat hilal untuk awal Ramadan dan Syawal sudah bisa disaksikan di televisi," katanya.

Dengan teknologi sederhana berupa teropong yang dilengkapi thermal imager dan infra merah, kita sudah bisa mendeteksi munculnya bulan di awal Sya'ban lalu meskipun keadaan saat itu relatif tertutup awan.

"Kita coba dulu dengan teknologi sederhana. Mudah-mudahan dengan membawa langsung hasil rukyat ke hadapan publik lewat layar televisi bisa mendidik umat dan memperkecil terjadinya perbedaan," kata Hakim. amal ihsan/rochman

Sumber : Koran Tempo (11 September 2007)


No comments: